
Indonesia, dengan keanekaragaman hayati yang kaya dan tradisi kerajinan yang panjang, adalah surga bagi para penggemar pewarna alami. Kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau ini menyimpan harta karun pewarna berbasis tumbuhan, masing-masing sangat tertanam dalam budaya dan warisan lokal. Lanskap yang subur menyediakan sumber daya yang melimpah, sementara teknik-teknik yang berusia berabad-abad menghadirkan rona hidup pada tekstil tradisional seperti batik Jawa, ikat, dan songket Bali.
Perjalanan saya baru-baru ini di wilayah ini tidak menjadikan saya seorang ahli, tetapi saya bisa menyimpulkan bahwa ada palet yang sangat mencolok dan saling melengkapi red browns, ochres and deep blues yang digunakan dalam batik dan tenunan Indonesia. Ini adalah palet yang saya hargai dan sangat beresonansi dengan saya.
Dalam tenunan tradisional Indonesia, warna-warna ini membawa makna budaya dan simbolis yang mendalam, sering berakar pada kepercayaan spiritual dan tradisi lokal. Merah, yang berasal dari sumber alami seperti morinda dan secang, melambangkan vitalitas, kekuatan, dan hubungan dengan roh leluhur. Biru, yang dicapai melalui pewarnaan indigo, mewakili ketenangan, perlindungan, dan harmoni dengan alam. Hitam, dibuat dengan pewarna lumpur di atas dasar indigo, memuat misteri dunia yang tak terlihat, berfungsi sebagai jembatan ke yang ilahi dan simbol sifat siklikal kehidupan. Oker melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan pemeliharaan yang disediakan oleh tanah. Bersama-sama, warna-warna ini membentuk narasi nyata tentang kehidupan, spiritualitas, dan identitas komunitas.
Meskipun posting blog ini tidak cukup untuk menjelaskan semuanya (Anda akan membutuhkan sebuah buku besar, ya itu sedang dikerjakan), ini adalah tempat yang tepat untuk memberi pengantar yang baik tentang pewarna alami yang saya pelajari saat bepergian di Jawa, Sumba dan Bali. Terima kasih khusus tentu saja saya tujukan kepada semua pengrajin yang memberi saya sekilas pandang ke dunia ini, dan dengan rasa terima kasih khusus kepada sahabat saya Inen Kurnia yang menjadi kekuatan penggerak di balik pengaturan perjalanan dan koneksi.

1. Indigo (Tarum)
Warna biru memikat dari indigo adalah salah satu pewarna alami paling ikonik di Indonesia. Diambil dari berbagai spesies tanaman Indigofera (Indigofera tinctoria, Indigofera arecta, Indigofera longeracemosa), indigo telah digunakan selama berabad-abad di daerah seperti Jawa dan Sumba.
Proses pewarnaan melibatkan metode fermentasi yang teliti, membutuhkan keterampilan dan kesabaran. Di beberapa tempat, indigo dibuat dengan daun mentah dalam mangkuk kayu besar. Di tempat lain, pasta indigo digunakan dalam bejana yang direduksi dengan gula aren atau gula singkong.
Di Jawa, indigo sering dikaitkan dengan motif batik, kadang-kadang dikombinasikan dengan pewarna alami lainnya.
Di DekelDyes kami menjual bubuk indigo (longeracemosa) dari Jawa.







2. Sappanwood (Kayu Secang)
Kayu secang, dari bagian inti kayu pohon *Caesalpinia sappan*, menghasilkan spektrum merah dan merah muda yang mencolok. Proses ekstraksi pewarna cukup sederhana, melibatkan merebus serpihan kayu untuk melepaskan pigmen hidupnya.
Pewarna ini umum digunakan dalam tekstil Bali dan Jawa. Merah dianggap sebagai warna suci, sering terlihat dalam sesajen dan ritual. Warna ini mewakili energi, kehidupan, dan keberanian.




3. Mango Leaves (Daun Mangga)
Daun mangga memberikan rona hijau-kekuningan yang lembut. Daun ini mengandung jumlah tannin yang baik sehingga menjadi basis yang bagus untuk pewarna lain yang lebih mudah pudar.
Nada bumi ini sering digunakan dalam eco-printing dan kerajinan pewarna alami kontemporer. Ini selaras dengan meningkatnya apresiasi terhadap seni yang ramah lingkungan di Indonesia.
Daun mangga tumbuh bebas di lingkungan saya, tetapi tidak di wilayah utara; kulit bawang dari bawang kuning bisa menjadi alternatif yang baik.

4. Turmeric (Kunyit)
Kunyit adalah bahan pokok di dapur Indonesia, kunyit juga berfungsi sebagai sumber pewarna yang cerah, menghasilkan warna kuning terang hingga keemasan. Penerapannya luas, sering dipasangkan dengan mordant alami lain untuk menyesuaikan intensitas warna. Meskipun saya menghindari kunyit karena menurut saya tidak cukup tahan cahaya, saya telah melihatnya digunakan secara luas dalam tenunan di seluruh kepulauan dan East Timur.

Tenunan Tais ini diberikan kepada saya di east Timur, dan Anda bisa melihat garis-garis kuning cerah yang diwarnai dengan kunyit. Pewarna lain yang digunakan untuk kain ini adalah pewarna lumpur, secang dan morinda.
5. Morinda (Mengkudu)
Akar pohon *Morinda citrifolia* dihargai karena kemampuannya menghasilkan warna cokelat kemerahan yang kaya. Kita bisa menganggap ini sebagai akar madder di lokasi tropis.
Pewarna ini sangat penting dalam tradisi tenun Nusa Tenggara (provinsi paling selatan Indonesia) dan Bali. Akar-akarnya digali pagi-pagi dan kemudian didiamkan semalam.
Keesokan harinya mereka dipotong-potong menggunakan parang, dan ditumbuk menjadi bubur dengan alu dan lesung kayu berukuran besar. Setelah itu akar direndam dalam air untuk mengekstrak warnanya, dan benang yang diikat ikat-ikatnya direndam dan dikeringkan berkali-kali dalam sari morinda.






6. Areca Nut (Buah Pinang)
Buah pinang, dari pohon Areca catechu, juga disebut betel nut, dan paling dikenal karena dikunyah dan menodai gigi menjadi merah. Buah ini juga digunakan dalam pewarnaan. Ia menghasilkan nuansa yang berkisar dari cokelat hangat hingga merah muda redup, tergantung pada cara pengolahannya. Buah pinang segar cenderung menghasilkan warna yang lebih cerah, sementara buah yang dikeringkan atau matang memberi nada yang lebih dalam. Dengan Alum (Potassium Aluminum Sulfate) menghasilkan nuansa cokelat kemerahan lembut atau merah muda pucat. Iron (Ferrous Sulfate) Menggelapkan warna untuk menciptakan abu-abu redup atau nada cokelat zaitun. Lime or Alkali: Meningkatkan nuansa kemerahan.
An alternative for areca nuts would be Cutch
7. Tingi (Mangrove Bark)
Kulit mangrove, terutama dari spesies *Ceriops tagal*, menghasilkan cokelat tua dan hitam. Kulit kayu ini kaya akan tannin, menjadikannya pilihan yang disukai untuk mewarnai nada tanah yang kuat. Tingi dalam Bahasa berarti tinggi, merujuk pada tunas pohon yang cepat tumbuh. Hutan mangrove dilindungi di banyak negara, tetapi di Indonesia masih mungkin membeli kulitnya di pasar. Di DekelDyes, kami menjual ekstrak mangrove dari hutan FSC yang terkontrol.




- Jolawe (Terminalia bellirica)
Buah dan kulit pohon ini menghasilkan warna kuning mentega lembut hingga cokelat redup.
Dalam pewarnaan alami kita mengenal ini sebagai myrobalan dan juga menggunakannya untuk menghasilkan abu-abu dan hitam dengan penggunaan ferrous sulfate sebagai post-mordant. Fakta menarik: biji myrobalan aman dikonsumsi dan banyak digunakan dalam sistem pengobatan tradisional seperti Ayurveda dan Traditional Chinese Medicine (TCM). Mereka sangat dihargai karena khasiatnya dan sering dikonsumsi sebagai teh herbal, bubuk, atau dikombinasikan dengan bahan lain.
- Mahogany Bark (Kayu Mahoni)
Kulit mahoni menghasilkan cokelat kemerahan hangat dan merah muda, sering digunakan untuk melengkapi rona yang lebih cerah seperti indigo atau kunyit. Proses pewarnaan melibatkan merebus kulit untuk mengekstrak pigmen kaya tanninnya.
Tekstil yang diwarnai mahoni dipandang sebagai penopang dan pelindung, melambangkan kekuatan dan ketahanan.
10 Cetapang Leaves (Terminalia catappa)
Daun cetapang adalah sumber warna kuning keemasan hingga hijau zaitun yang indah, tergantung pada mordant yang digunakan. Tanaman ini tumbuh subur di daerah pesisir, menjadikannya favorit di antara komunitas pewarnaan pesisir. Di Sumba dan di East Timur saya melihat penggunaan daun cetapang untuk hijau lumut yang indah dipadukan dengan semua nuansa cokelat.
Untuk membuat hijau lumut Anda menggunakan mordant bertipe alum, mewarnai dengan daun cetapang hingga kuning lembut, dan melakukan post-mordant dengan ferrous sulfate untuk mendapatkan hijau lumut.
Merupakan pelajaran besar bagi saya melihat bagaimana pengetahuan tentang pewarnaan alami di Indonesia diturunkan dari generasi ke generasi, dan dianyam ke dalam kain sosial dan spiritual komunitasnya. Saya juga bisa melihat bagaimana tantangan modern seperti pewarna kimia yang 'mudah', upah rendah dan sebagai akibatnya; menyusutnya keterampilan pengrajin, mengancam tradisi ini. Di Dekel Dyes kami akan terus menekankan pada pewarnaan alami, dan kami akan mendukung penenun serta pewarna lokal. Kami berharap dengan cara ini dapat berkontribusi pada kelanjutan penggunaan pewarna-pewarna ini dalam industri tekstil lokal.
0 komentar